Sabtu, 24 April 2010

BISNIS MOGE



Rambutnya cepak dan sudah mulai memutih. Sosoknya tegap, walaupun usianya sudah lebih dari setengah abad. Mulutnya tiada henti menghisap sebatang rokok. Di telinga kirinya tampak anting yang sepertinya terbuat dari emas putih. Asesoris bernuansa Harley-Davidson (H-D) melekat di seluruh tubuhnya, mulai dari ikat pinggang hingga dasi “bolo”, dasi tali yang biasa dipakai seorang koboi. Di tangan kanan dan kirinya tampak tatto lambang H-D. Mickey Rourke? Bintang Harley Davidson and The Marlboro Man? Bukan. Dialah Djoko Saturi, Sekretaris Jendral Harley-Davidson Club Indonesia (HDCI) Pusat. Mantan marinir ini memang seorang penggila H-D. Sejak tahun 60-an, tepatnya 1964, ia sudah menunggang kuda besi dari AS ini. Motor Harley pertamanya adalah Harley sisa jaman perang, WLA Harley tahun 1941. Saat ini, Djoko memiliki H-D Sportster Special Edition keluaran 2003. “H-D memberikan kesan macho sehingga saya enjoy menaikinya,” ujarnya kepada BusinessWeek Indonesia di sebuah kafe di Jakarta pertengahan Agustus lalu.

Di Jakarta, bahkan di Indonesia, Djoko tidak sendiri. Penggila motor besar semacam Harley dan berbagai merek motor besar lain semakin menjamur. Hingga tahun 2000, populasi motor besar berbagai merek di Indonesia diperkirakan sudah mencapai sekitar 40.000 unit. Sejak deregulasi otomotif Juni 1999, saat kran impor motor CBU (Completely Build Up) baik oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) maupun importir umum (IU) dibuka, berbagai perusahaan dan ATPM semakin bersemangat mendatangkan motor-motor besar ini.

Dan perusahaan yang mengusung merek H-D di Indonesia adalah PT Mabua Harley-Davidson (MHD). Dealer resmi H-D ini, menurut Djonnie Rahmat, President Director MHD, telah menjual 900 unit HD di seluruh Indonesia sejak pertama buka di 1998. Selain sebagai dealer resmi (authorized dealer), menurut Willy A. Tjondrodiputero, General Manager MHD, MHD juga merupakan country representative dari Harley-Davidson Motor Company AS. Di Jakarta, MHD telah membuka cabangnya di Jalan Fatmawati, di Automall Kawasan SCBD dan di Kelapa Gading. Sedangkan di luar Jakarta MHD ada di Bali dengan nama Dewata Harley-Davidson (DHD).

Importir resmi motor besar lain adalah Ducati Jakarta. Bersebelahan dengan dealer Cagiva, juga di Jalan Fatmawati, Ducati Jakarta memulai usahanya di 2000. Saat itu, dalam sebuah eksibisi di kawasan Senayan, Ducati Jakarta mendatangkan 21 buah motor Ducati ke Indonesia. Menurut John A. Junir, Managing Director Ducati Jakarta, sebenarnya tawaran untuk mendatangkan Ducati ke Indonesia sudah didapatkan sejak 1997. “Tapi karena perhitungan dan peraturan, rencana ini kami tunda, walaupun potensinya ada,” ujar John.

Ceruk pasar

Berbeda dengan kebanyakan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) yang menjual motor-motor dengan cc kecil (di bawah 250cc) dan menggarap pasar massal, ceruk pasar motor besar cukup spesifik. Di MHD misalnya, menurut Willy karakter pembeli H-D biasanya adalah mereka-mereka yang datang dari level menengah ke atas. “Pembeli H-D kebanyakan adalah business owner, pengusaha, orang yang suka kebebasan, outdoor, sudah menikah dan mapan,” ujarnya. Mereka-mereka ini biasanya berada pada kisaran umur antara 30-50 tahun. Sementara Ducati menurut John, mengincar pasar orang-orang yang hobi naik motor dan mengerti mengenai motor. “Sehingga selain segmen Harley, segmen motor sport cukup banyak,” ujarnya. Segmen Ducati ini menurutnya juga tidak terbatas umur. “Tapi lebih ke semangat dan pemahaman mereka mengenai motor itu sendiri dan kenikmatan dalam berkendaranya,” tambahnya lagi. Dan satu-satunya ATPM yang mendatangkan motor besar adalah Suzuki, melalui PT Indomobil Suzuki International. Menurut Suandi Widiarto, GM Marketing, Suzuki Motorcycle, Suzuki memperkenalkan motor besar ini sejak tahun 2000. Pasar yang disasar juga pasar menengah ke atas.

Menurut Willy secara umum, MHD mengincar dua target pasar. Yaitu existing owner, orang yang sudah mempunyai motor H-D dan orang yang wannabe, orang yang ingin mengendarai H-D. “Kini existing owners menyumbang sekitar 40% dari penjualan dan sisanya 60% dari pembeli yang sama sekali baru atau new buyer,” ujar Willy. Jumlah pembeli H-D di MHD sudah mencapai sekitar 1000 orang. Jumlah ini hampir sepertiga total populasi pengguna H-D di Indonesia yang tercatat mencapai 3000-4000 orang. Menurut Djoko, dari HDCI saja, hingga kini anggotanya sudah mencapai 2000 orang yang tersebar di 25 kepengurusan daerah (pengda) di seluruh tanah air. Setiap tahun MHD bisa mendatangkan sekitar 250 unit motor H-D sesuai dengan volume (transaksi). “Saat ini (Agustus) saya sudah mulai order untuk 2005, dan mulai 2005 untuk 2006,” ujar Willy. Sementara total populasi Ducati dalam 2-3 tahun belakangan ini baru mencapai 120-140 motor.

Faktor yang menentukan segmentasi ini adalah harga. Harga on the road satu unit motor H-D di Indonesia bisa berkisar antara Rp150 juta hingga Rp495 juta. Kisaran harga ini menurut Willy sudah termasuk fasilitas STNK, BPKB dan garansi selama dua tahun yang didukung penuh oleh pabrikan. Motor Ducati harga jualnya antara Rp165 juta hingga Rp500 juta, sementara motor besar Suzuki berharga mulai dari Rp. 70 juta (250cc) hingga Rp. 235 juta (750 cc). “Dari sisi harga, diantara motor-motor yang ada, bahkan di Eropa, kelas Ducati memang agak tinggi,” ujar John. Bandingkan dengan harga motor biasa yang semahal-mahalnya masih di bawah Rp30 juta. Apabila motor besar Ducati dan Suzuki 100% didatangkan dalam bentuk CBU (Completely Build-Up), di MHD selain mendatangkan motor CBU juga mendatangkan motor dalam bentuk SKD (semi-knock down). “Kami menggunakan SKD dengan persetujuan dari H-D AS untuk menurunkan harga. Karena kalau CBU itu jatuhnya mahal sekali,” ujar Willy. Hingga kini perbandingan antara motor SKD dan CBU di MHD mencapai 80% (SKD) dan 20% (CBU).

Penyebab utama tingginya harga motor besar ini tak lain adalah pajak. Untuk semua motor besar CBU di atas 500 cc, menurut Willy, pajak bea masuk yang dikenakan mencapai 60% dari harga dasar kendaraan. Setelah dikenakan pajak bea masuk, motor masih dikenakan pajak barang mewah (luxury tax) sebesar 75%, VAT (value added tax, pajak pertambahan nilai) sebesar 10%, PPH (Pajak Penghasilan) sebesar 2,5%, serta pajak balik nama. Sehingga, “registration fee di MHD, estimasi rata-ratanya untuk semua jenis motor adalah Rp30 juta. Termasuk untuk plat nomor,” ujar Willy.

Untung

Namun, tingginya pajak tampaknya tidak menghalangi penjualan MHD yang bisa dibilang mencatat pertumbuhan tertinggi diantara penjualan merek motor besar lain. Penjualan H-D di 2003 mencapai angka 240 motor. Saat itu, “ada emotional demand karena peringatan 100 tahun HD,” ujar Djonnie. Pertumbuhan pasar dari tahun ke tahun selalu meningkat hingga 25%. Tahun ini, hingga Juni, penjualan MHD sudah mencapai 120 motor. “Target kita untuk tahun ini adalah 250 unit dan kita on target,” ujar Willy. Apabila dihitung, penjualan MHD bisa mencapai 25 unit per bulan. Sementara Ducati penjualannya baru mencapai 4 unit per bulan. John mengakui, pertumbuhan pasar motor Ducati belum begitu besar. “Antara 5-8% per tahun,” ujarnya.

Hitung punya hitung, berapa besar keuntungan bisnis motor besar ini? Menurut Djonnie, untuk penjualan satu unit motor H-D, MHD bisa memperoleh porsi keuntungan hingga 10% dari harga jual. Bisa dibayangkan, keuntungan yang akan didapat MHD, dari omset penjualan yang 25 unit per bulan dan dari kisaran harga H-D antara Rp150 juta hingga Rp495 juta. “Namun itu keuntungan kotor,” ujar Djonnie buru-buru menambahkan, “masih dikurangi sumbangan kita untuk kegiatan sosial, klub, dsb,” tambahnya lagi. Bagi mereka yang membeli H-D dari dealer resmi (MHD atau DHD), pembeli akan secara otomatis masuk ke dalam klub HOG (Harley Owners Group). Saat ini menurut Djonnie, penjualan motor masih menyumbang 70% dari keseluruhan omset penjualan. Sisanya 20% disumbang oleh suku cadang dan servis dan 10% oleh general merchandize, pernak-pernik H-D dari kaca mata, helm, hingga meja bilyard. Di Ducati sebanyak 30% omset penjualan disumbang oleh asesoris yang terkait dengan performance motor.

Dilihat dari jenis motornya, di MHD tipe touring menyumbang unit penjualan terbesar sekitar 60%. Sisanya 25% disumbang tipe Softail dan 15% dibagi antara Dyna, Sporters dan V-Rod. Tipe touring ini termasuk tipe mahal dengan harga antara Rp300 juta hingga Rp 370 juta. “Mereka yang beli biasanya menggunakan motornya untuk weekend ke luar kota,” ujar Willy. Sementara di Ducati, tipe Monster menyumbang penjualan paling banyak, diikuti tipe sport touring, superbike dan Strada. “Dalam setahun kita bisa mendatangkan 48-50 unit motor dan 50%-nya adalah Ducati Monster,” ujar John. Dengan masuknya Ducati di MotoGP di 2003, tren penjualan superbike mengalami kenaikan. “Merek Ducati membantu pemasaran kami sekitar 30%,” ujar John.

Sementara bisnis para importir resmi ini bergairah, sebagai satu-satunya ATPM yang mendatangkan motor besar, penjualan motor besar Suzuki malah mémblé. “Penjualan moge (motor gede) jumlahnya sedikit karena penggunanya sangat terbatas. Penjualan dari sejak diperkenalkan di 2000 hingga 2003 tidak mengalami pertumbuhan,” ujar Suandi. Lagi-lagi masalahnya adalah harga yang selangit. Saking sedikitnya penjualan, sampai-sampai menurut Suandi, di 2004 ini, penjualan motor CBU digabung dengan motor biasa. “Saat ini kami tidak mengimpor unit baru lagi tapi hanya menghabiskan sisa stok,” ujarnya. Jenis moge Suzuki yang selama ini “diminati” adalah jenis sport, scooter dan chopper untuk kelas di atas 250 cc juga untuk touring dan jalan-jalan.

Namun, mémblé-nya ATPM di satu sisi, bisa jadi, berkah bagi importir resmi di sisi lain. “Bagi ATPM sekarang pasarnya masih kecil karena mereka belum menggarap pasar Indonesia dengan serius. Saya kira kalau mereka terjun secara serius kita harus fight bener,” ujar John jujur. Dan sebelum hal itu terjadi H-D, Ducati, Cagiva dan merek-merek motor besar lain boleh agak jumawa. Seperti kata Willy, “pesaing kita bukan ke motor yang lain, tapi apartemen atau liburan anak sekolah atau biaya sekolah anak ke luar negeri, kira-kira lebih ke arah sana,” ujarnya. Wuih, enaknya menjual gaya hidup.

0 komentar:

Posting Komentar